Sabtu, 27 Desember 2008

EKSISTENSI ASAS LEGALITAS DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

Ketentuan pidana di bidang perpajakan berdasarkan aspek lex scripta diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam undang-undang ini diatur tentang perbuatan (tingkah laku) yang dilarang dan diklasifikasikan sebagai tindak pidana di bidang perpajakan. Berdasarkan pelaku tindak pidana, tindak pidana di bidang perpajakan dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang ditujukan kepada Pejabat Pajak (Pasal 36A, 41 UU KUP )
Perbuatan-perbuatan yang dilarang adalah:
a. Pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum
b. Menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
c. memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan

2. Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang ditujukan kepada Wajib Pajak (Pasal 38, 39 dan 39A KUP)
Perbuatan-perbuatan yang dilarang adalah:
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
c. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
d. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
e. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan.
f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara pro¬gram aplikasi on line di Indonesia.
i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
j. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya.
k. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak

3. Pihak lain atau pihak ketiga (41A dan 41B UU KUP)
Perbuatan-perbuatan yang dilarang adalah:
a. tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan.
b. Menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan

Berdasarkan uraian di atas, aspek lex scripta dalam UU KUP telah terpenuhi, karena penghukuman atas tingkah laku (perbuatan ) yang dilarang dan dikualifikasikan sebagai tindak pidana telah dituangkan dalam undang-undang. Selain perbuatan yang dilarang harus dituangkan dalam undang-undang, perbuatan-tersebut harus dirumuskan secara jelas dan rinci (asas lex certa). Permasalahan akan timbul apakah rumusan perbuatan yang dilarang dan dikualifikasikan sebagai tindak pidana di bidang perpajakan sudah dirumuskan secara jelas dan rinci.
Untuk mengetahui apakah rumusan perbuatan yang dilarang dan dikualifikasikan sebagai tindak pidana di bidang perpajakan telah dirumuskan secara jelas dan rinci, dapat dilihat dari pelanggaran sebagaimana dimaksud pasal 38, 39 dan 39A, yang dilakukan oleh wajib pajak. Penerapan sanksi pidana pada dasar diterapkan sebagai upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, sedangkan rumusan pelanggaran yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana yang ditujukan kepada wajib pajak sebagaimana diuraikan di atas masih bersifat samar,terlalu luas dan multipurpose. Sebagai contoh Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar menurut pasal 38 dan 39 UU KUP dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana di bidang perpajakan, dan disisi lain dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi berdasarkan pasal 13 UU KUP. Menurut asas principle of diffrentiation dari OECD rumusan seperti itu harus dihindari karena akan menimbulkan multi tafsir dan tidak ada kejelasan perbedaan antara pelanggran yang dikategorikan sebagai tindak pidana dan pelanggran administrasi
Sudah menjadi rahasia umum bahwa menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar hanya dilakukan tindakan administrasi dan jarang dilakukan tindakan penyidikan. Menurut peneliti hal ini disebabkan karena ketidak jelasan rumusan tindak pidana di bidang perpajakan itu sendiri. Pembuat undang-undang tidak membuat benang merah yang dapat membedakan atara pelanggaran yang dapat dijatuhi sanksi administrasi dan pelanggaran yang dapat dijatuhi sanksi pidana.
Bedasarkan uraian di atas, asas lex certa belum tercermin dalam rumusan perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana di bidang perpajakan dalam UU KUP.

Tidak ada komentar: