Sabtu, 27 Desember 2008

EKSISTENSI ASAS LEX SPESIALIS DEROGAT LEGI GENERALIS DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

Dalam hukum terdapat suatu asas penting, yang dikenal dengan “specialis derogat legi generali”. Secara sederhana hal ini berarti aturan yang bersifat khusus (specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (generali). Apabila dihubungkan dengan pandangan Dworkin , dengan asas ini maka aturan yang bersifat umum itu tidak lagi sebagai hukum ketika telah ada aturan yang bersifat khusus. Dengan kata lain, aturan yang khusus itulah sebagai hukum yang valid, dan mempunyai kekuatan mengikat untuk diterapkan terhadap peristiwa-peristiwa konkrit. Penerapan asas ini menyebabkan suatu aturan hukum termasuk ketika hal itu terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, menjadi tidak mempunyai kekuatan mengikat. Aturan tersebut hanya menjadi "aturan perundang-undangan", tetapi tidak merupakan suatu "aturan hukum". Dalam sistem hukum Indonesia, selalu menjadi keyakinan bahwa "hukum" tidak selalu identik dengan "undang-undang".

Menurut teori sistem hukum dari Hart, asas “lex specialis derogate legi generali' termasuk kategori rule of recognition. Mengingat asas ini mengatur aturan hukum mana yang diakui absah sebagai suatu aturan yang berlaku. Dengan demikian, asas ini merupakan salah satu secondary rules, yang sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur (pembatasan) penggunaan kewenangan (aparat) negara dalam mengadakan suatu represi terhadap pelanggaran atas aturan tentang perilaku tersebut. Sebagai asas yang mengatur penggunaan kewenangan, dilihat dari teori tentang criminal law policy dari Ancel, asas 'lex Specialis derogat legi generali" merupakan asas hukum yang menentukan dalam tahap aplikasi (application policy). Artinya, persoalannya bukan berkenaan dengan perumusan suatu kebijakan tentang hukum (formulation policy), tetapi berkenaan dengan game-rules dalam penerapan hukum. Dalam hal ini, asas ini menjadi penting bagi aparat penegak hukum apakah suatu peristiwa akan diterapkan aturan yang "ini" atau yang "itu". Sementara, yang "ini" atau "itu" tersebut ditentukan oleh manakah aturan diantara aturan-aturan tersebut yang bersifat umum, sedangkan manakah aturan-aturan yang lain yang bersifat khusus.

Umumnya suatu asas hukum dipositifkan dalam satu atau lebih aturan hukum. Dalam hukum pidana Indonesia asas ini terkandung dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP. "Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka yang khusus itulah yang diterapkan." Pasal ini menegaskan keberlakuan (validitas) aturan pidana yang khusus ketika mendapati suatu `perbuatan' yang masuk baik kedalam aturan pidana yang umum dan aturan pidana yang khusus. Apakah yang dimaksud `aturan pidana' dalam hal ini tidak dijelaskan dalam undang-undang. Menurut Friedman,suatu aturan hukum adalah sebagian dari substansi (materi) hukum itu sendiri, karena suatu sistem hukum terdiri substansi (substance), struktur (structure) dan budaya (culture). Dengan demikian, aturan pidana adalah subbagian hukum yang masuk kedalam ruang lingkup hukum pidana itu sendiri.

Ruang lingkup hukum pidana menurut Packer, meliputi pengaturan tentang tindak pidana (crime), pertanggungjawaban pidana (responsibility) dan pemidanaan (punishment), maka aturan pidana disini adalah aturan tentang tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Sepanjang terdapat aturan yang sifatnya khusus mengenai tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan, maka aturan yang sifatnya umum menjadi tidak lagi valid.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidarta, di dalam kehidupan masyarakat masa kini, di mana segala bentuk usaha besar dan kecil bertambah memainkan peranan yang penting di dalam kehidupan masyarakat, sanksi administratif semakin memainkan peranan yang penting. Penerapan Sanksi administratif jauh lebih efektif untuk memaksa orang menaati ketentuan-ketentuan hukum dibandingkan dengan sanksi-sanksi pidana. Aturan hukum yang mengadung asas specialis derogat legi generalis, berlaku bukan hanya dalam mensikapi perbuatan-perbuatan yang taatbestand dengan aturan pidana yang terdapat dalam KUHP, tetapi juga bahkan terutama terhadap aturan pidana yang terdapat dalam undang¬-undang lain di luar KUHP. Bahkan sepanjang tidak diatur sebaliknya, asas ini juga berlaku terhadap sesama undang¬-undang di luar KUHP. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 103 KUHP, yang menentukan: "ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII buku ini berlaku bagi perbuatan¬-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam pidana, kecuali jika oleh undang-undang itu ditentukan lain". Hal di atas sebenarnya memerlukan suatu pengelaborasian lebih lanjut guna menghindari adanya kesimpangsiuran terhadap suatu pemahaman mengenai aspek pidana.

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa sepanjang suatu peraturan perundang-undangan memuat aturan pidana yang khusus, maka mengenai hal yang sama yang secara umum diatur dalam KUHP (atau undang-undang di luar KUHP yang memiliki sifat lebih umum), menjadi tidak absah atau tidak lagi valid. Pemberlakuan asas ini bukan hanya terhadap adanya undang-undang pidana khusus, tetapi juga merembes terhadap undang-undang administratif yang didalamnya memuat aturan pidana (administratiefstrafrecht). Termasuk tetapi tidak terbatas pada aturan tentang tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan yang tercantum dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut KUP). Meminjam istilah Andi Hamzah, dalam hal ini merupakan bentuk pengecualian yang sifatnya diam-diam dari ketentuan-ketentuan umum mengenai hal itu dalam KUHP. Secara deduktif, Ketentuan Pidana dalam KUP, memuat hal-hal umum ditambah hal-hal khusus, terkait dengan bidang perpajakan.

Hukum administrasi merupakan kaidah-kaidah yang membimbing turut serta pemerintah dalam pergaulan sosial dan ekonomis yang oleh pemerintah sendiri diberi sanksi dalam hal pelanggaran. Kaidah-kaidah hukum tersebut mengatur hubungan-hubungan antara alat-alat bestuursorganen dengan individu dalam masyarakat. Sementara itu, Belifante berpendapat bahwa sifat membatasi dari hukum administrasi terhadap hukum perdata dapat dipahami mengingat bidang hukum dimaksud merupakan sarana pemerintah dalam mengatur hubungan dengan warganya. Hal itu disebabkan, meskipun tujuan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat, tetapi semua wewenang pemerintah harus berlandaskan peraturan umum yang bersangkutan. Singkatnya, perbuatan administrasi harus didasarkan undang-undang.

Sebagai bukti adanya sifat-sifat umum dalam perumusan tindak pidana di bidang perpajakan adalah digunakannnya beberapa terminologi yang hanya dapat dimengerti dalam rangka KUHP. Beberapa idiom KUHP yang diintrodusir dalam rumusan tindak pidana perpajakan dalam UU KUP adalah, “Alpa” (Pasal 38), "sengaja" (Pasal 39), “kerahasiaan” (pasal 41 ayat 1). Idiom-idiom tersebut hanya dapat dipahami apabila dikaitkan dengan definisi tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam KUHP, karena Undang-Undang KUP itu sendiri tidak menjelaskannya lebih jauh.
Disamping itu, sebenarnya ketentuan tindak pidana dalam kaitannya dengan masalah perpajakan juga telah diintrodusir di dalam KUHP, sekalipun di dalam KUHP ini tidak secara komprehensif membahas mengenai ketentuan perpajakan. Hal ini bisa dilihat pada masalah:
  1. Pemalsuan sesuai denganPasal 263 ayat (1) KUHP, yang berbunyi: “.. Barang siapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat…….” Dan
  2. Penggelapan sesuai dengan pasal 372 dan pasal 374 KUHP
Dari beberapa ketentuan di atas, memang dapat dipahami bahwa sekalipun aspek perpajakan juga ada diatur dalam KUHP, namun pengaturan tersebut secara aspek pidana tidak mencerminkan suatu pembahasan yang komprehensif mengenai tindak pidana dalam bidang perpajakan. Hal ini menunjukkan, ternyata KUHP tidak cukup mampu untuk "mengakomodasi" permasalahan perpajakan, terlebih lagi ternyata dalam praktek perpajakan sekarang ini semakin banyak permasalahan perpajakan yang dapat ditarik ke dalam "dunia" hukum pidana.

Dalam proses hukumnya , terdapat beragam tafsir dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi dan tindak pidana bidang perpajakan yautu disatu pihak berpendapat apapun kesalahan baik pihak terafiliasi yang terdiri dari Wajib Pajak, kuasa dan petugas pajak, meskipun perbuatannya merugikan keuangan negara atau dapat merugikan keuangan negara tidak dapat dijerat oleh undang-undang pidana lain (UU Pidana Korupsi), selain undang-undang pajak, karena merupakan lex spesialis. Dalam inhouse training penyidikan pajak 22 Desember 2005 di aula Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Andi Hamzah menyatakan bahwa dengan sengaja melaporkan SPT yang tidak benar sehingga merugikan negara adalah perbuatan melawan hukum. UU perpajakan telah mengaturnya sebagai delik tersendiri dan merupakan lex specialis yang menyingkirkan ketentuan yang bersifat umum yaitu UU Pemberantasan tindak pidana korupsi.[1] Dilain pihak dengan pertimbangan adanya kebocoran keuangan negara yang merugikan atau dapat merugikan negara, maka apapun bentuk kebijakan yang dijadikan dalih oleh pihak terafiliasi tersebut bukan alasan menghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan. Rumusan delik dalam undang-undang perpajakan tersebut hanya dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan, yaitu yang dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum formil dari tindak pidana korupsi.


[1] ______________, Majalah Berita Pajak , tanggal 1 Februari 2006, hlm.41

EKSISTENSI ASAS LEGALITAS DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

Ketentuan pidana di bidang perpajakan berdasarkan aspek lex scripta diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam undang-undang ini diatur tentang perbuatan (tingkah laku) yang dilarang dan diklasifikasikan sebagai tindak pidana di bidang perpajakan. Berdasarkan pelaku tindak pidana, tindak pidana di bidang perpajakan dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang ditujukan kepada Pejabat Pajak (Pasal 36A, 41 UU KUP )
Perbuatan-perbuatan yang dilarang adalah:
a. Pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum
b. Menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
c. memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan

2. Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang ditujukan kepada Wajib Pajak (Pasal 38, 39 dan 39A KUP)
Perbuatan-perbuatan yang dilarang adalah:
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
c. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
d. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
e. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan.
f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara pro¬gram aplikasi on line di Indonesia.
i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
j. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya.
k. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak

3. Pihak lain atau pihak ketiga (41A dan 41B UU KUP)
Perbuatan-perbuatan yang dilarang adalah:
a. tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan.
b. Menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan

Berdasarkan uraian di atas, aspek lex scripta dalam UU KUP telah terpenuhi, karena penghukuman atas tingkah laku (perbuatan ) yang dilarang dan dikualifikasikan sebagai tindak pidana telah dituangkan dalam undang-undang. Selain perbuatan yang dilarang harus dituangkan dalam undang-undang, perbuatan-tersebut harus dirumuskan secara jelas dan rinci (asas lex certa). Permasalahan akan timbul apakah rumusan perbuatan yang dilarang dan dikualifikasikan sebagai tindak pidana di bidang perpajakan sudah dirumuskan secara jelas dan rinci.
Untuk mengetahui apakah rumusan perbuatan yang dilarang dan dikualifikasikan sebagai tindak pidana di bidang perpajakan telah dirumuskan secara jelas dan rinci, dapat dilihat dari pelanggaran sebagaimana dimaksud pasal 38, 39 dan 39A, yang dilakukan oleh wajib pajak. Penerapan sanksi pidana pada dasar diterapkan sebagai upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, sedangkan rumusan pelanggaran yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana yang ditujukan kepada wajib pajak sebagaimana diuraikan di atas masih bersifat samar,terlalu luas dan multipurpose. Sebagai contoh Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar menurut pasal 38 dan 39 UU KUP dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana di bidang perpajakan, dan disisi lain dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi berdasarkan pasal 13 UU KUP. Menurut asas principle of diffrentiation dari OECD rumusan seperti itu harus dihindari karena akan menimbulkan multi tafsir dan tidak ada kejelasan perbedaan antara pelanggran yang dikategorikan sebagai tindak pidana dan pelanggran administrasi
Sudah menjadi rahasia umum bahwa menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar hanya dilakukan tindakan administrasi dan jarang dilakukan tindakan penyidikan. Menurut peneliti hal ini disebabkan karena ketidak jelasan rumusan tindak pidana di bidang perpajakan itu sendiri. Pembuat undang-undang tidak membuat benang merah yang dapat membedakan atara pelanggaran yang dapat dijatuhi sanksi administrasi dan pelanggaran yang dapat dijatuhi sanksi pidana.
Bedasarkan uraian di atas, asas lex certa belum tercermin dalam rumusan perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana di bidang perpajakan dalam UU KUP.

TINDAK PIDANA DIBIDANG PERPAJAKAN DALAM LINGKUP TINDAK PIDANA KORUPSI

Secara formal terhadap perbuatan pidana perpajakan dapat dikenakan delik pidana tertentu. Dalam praktek tindak pidana tertentu yang sering terjadi dibidang perpajakan adalah tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi saat ini dipandang sebagai extraordinary crime, karena itu penanggulangannya tidak lagi ditempuh dengan cara-cara konvensional. Berbagai upaya dilakukan, salah satunya adalah mengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tindak pidana korupsi di bidang perpajakan dapat dijatuhkan baik kepada Wajib pajak maupun petugas pajak. Unsur Kerugian Negara di bidang perpajakan yang terjadi kerena pembukuan tidak benar atau palsu dan petugas yang kurang teliti atau kurang cermat dalam melakukan pemeriksaan terhadap SPT dan lampirannya berupa pembukuan wajib pajak sering dijadikan sebagai unsur tindak pidana korupsi. Sehingga apakah masih relevan penerapan sanksi pidana dengan tujuan semula dimuatnya ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yaitu mengamankan pendapat negara dari sektor pajak dan sejauh mana ketentuan tersebut masih diperlukan lagi sebagai sarana hukum yang bersifat ultimum remidium?.
Pengalaman selama ini memperlihatkan, bahwa untuk menjerat para pelaku tindak pidana perpajakan dengan berbagai instrumen pidana yang ada dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, nampaknya tidak mudah. Sudah berkali-kali dilakukan perubahan, walaupun memuat sanksi pidana nampaknya belum berfungsi secara efektif